Ini kejadian tahun 1994, yaitu di tahun pertama kekristenan saya, tentunya saya masih anak Tuhan yang lugu yang tidak punya banyak pengertian Firman Tuhan. Hari itu adalah hari Jumat, tepat pada hari libur nasional, saya tidak ingat libur apa. Biasanya kalau hari Jumat di gereja saya ada Kebaktian Dewasa Muda, jadi saya berangkat saja dengan maksud menghadiri Kebaktian itu.
Pada saat itu saya tidak bekerja dan hanya punya uang Rp. 5000,- saja. Di sebuah perempatan saya berhenti karena lampu merah. Ada seorang anak kecil, mungkin usia SD, meminta-minta di kaca mobil saya dengan mangkuk yang masih kosong. Saya terpaksa menolaknya karena saya berpikir uang itu untuk kolekte di gereja.
Lampu hijau, saya langsung belok kanan, tetapi hati saya langsung tidak enak, dan tidak dapat berhenti memikirkan anak kecil itu. Jadi saya spontan cari kesempatan untuk memutar balik mobil saya, untung jalanan sepi karena hari libur.
Sampai kembali di perempatan itu tadi, saya langsung menghentikan mobil saya di median jalan, dan langsung turun mencari anak kecil itu tadi. Benar saja. Saya melihat anak itu sedang bersandar pada sebuah tiang sambil menangis, dan dikelilingi oleh teman-temannya… Tanpa pikir panjang langsung saya ambil uang Rp. 5000,- itu tadi dan meletakkannya di mangkoknya. Lalu teman-temannya berkata : “Tuh, dikasih tuh!”. Dari situ saya baru tahu, ternyata anak itu menangis karena saya telah menolaknya. Saya lihat mangkok teman-temannya memang penuh dengan uang receh, tetapi mangkoknya kosong senditi.
Bagi saya, cukup satu kali pelajaran, sejak itu saya tidak mau lagi menolak pengemis, jika tidak terpaksa. Kita tidak tahu dari penolakan kita, diam-diam dia menangis di belakang kita. Padahal kadang-kadang kita cuma malas membuka kaca mobil, malas membuka dompet, kita tidak tahu pemberian kita itu penting buat mereka.
Bahkan kita sering mendengar orang berkata begini : “Ini seharusnya urusan pemerintah dong.” Atau begini : “Memberi itu tidak mendidik. Mereka harus tahu susahnya cari uang. Enak saja tinggal ‘kecek-kecek’ lalu dapat uang.” Atau; “Enak saja tinggal ngelap mobil pakai kemoceng lalu dapat uang.” (Percayalah, mereka lebih tahu susahnya mencari uang daripada kita. Mereka harus berdiri diperempatan jalan dibawah terik matahari dan menghirup asap knalpot, hanya untuk mengumpulkan Rp. 100,- atau Rp. 200,- dari setiap mobil. Sedangkan kita enak-enak duduk dibelakang meja, di ruang ber AC, dengan gaji berjuta-juta sebulan.)
Atau orang berkata begini : “Pengemis-pengemis ini diorganisir.” (Diorganisir atau tidak, mereka tetaplah tidak punya penghasilan dan mereka butuh makan). Atau begini : “Nanti kalau kita ditodong bagaimana ? (Padahal saya hampir tidak pernah menemukan pengemis laki-laki). Atau begini : “Salahnya sendiri mengapa memilih menjadi pengemis”. (Tidak ada orang yang pernah memilih untuk jadi pengemis. Apakah roh seorang bayi dapat berkata pada Tuhan : “Tuhan, aku tidak mau dilahirkan di Etiopia yang tandus, aku maunya lahir di Indonesia yang subur dan banyak airnya.” Atau, “Tuhan, aku tidak mau terlahir sebagai anak orang miskin, anak pengemis, anak dukun, anak pelacur, anak penjudi, anak pemabok dan lain-lain, aku maunya lahir sebagai anak orang berkecukupan dengan rumah baik, sehingga orang tuaku dapat menyekolahkan aku sampai pendidikan tinggi, lalu kemudian aku dapat bekerja dengan gaji lumayan.” Tidak seorangpun dapat memilih mau dilahirkan dimana, dan oleh siapa)
Jadi saya berkata, sudahlah tidak usah banyak komentar, buka kaca jendela saja, buka dompet lalu berikan apa yang dapat kita berikan.
MEMBERI DAN MEMBERI 2
Yang ini adalah pengalaman tahun 2008 ini. Waktu itu seorang teman mengajak saya berdoa di sebuah gedung di wilayah Senen, Jakarta Pusat. Karena habis hujan lebat, saya tidak ingin membawa mobil, karena takut terhalang banjir, jadi mobil saya tinggal di rumah, dan saya pergi naik ojek. Saya berencana, pulangnya akan mencoba naik Mikrolet jurusan Senen-Kampung Melayu. Karena dari terminal bus Kampung Melayu, saya tahu bus yang ke arah rumah saya. Pulang berdoa, saya benar-benar mencoba naik Mikrolet Jurusan Senen-Kampung Melayu. Teman saya mengusulkan naik busway, tapi saya menolak, karena entah kenapa, sejak dari rumah, saya sudah ingin naik Mikrolet jurusan Senen-Kampung Melayu itu.
Jadilah, saya menemukan mikrolet yang saya maksud, dan saya duduk di depan di samping supir. Saya perhatikan supir mikrolet menyetir dengan ugal-ugalan, atau bahasa halusnya adalah ‘lincah bermanuver’. Dari jalur paling kiri, memotong kendaraan lain, bermanuver ke jalur paling kanan. Juga sebaliknya, dari jalan paling kanan, memotong ke jalur paling kiri. Semua itu dilakukannya untuk mengejar penumpang. Saya diam dan memperhatikan saja. Saya pikir percuma saya ‘kotbah’ tentang disiplin berlalu lintas, karena saya tahu semua itu dilakukannya karena kekuatiran dunia ini. Kekuatiran tidak dapat membayar setoran, keuatiran tidak bisa makan hari ini, kekuatiran tidak dapat membayar uang sekolah anaknya, dan kekuatiran lainnya. Jadi saya memilih untuk diam. Sampai suatu saat di lampu merah, ia mulai menghitung uang. Saya keluarkan uang Rp. 3000,- untuk membayar ongkosnya. Sebenarnya tarifnya pada saat itu adalah Rp. 2000,-, tetapi karena saya menumpang sudah lama, jadi saya bayar lebih saja. Lalu ia mulai membuka percakapan.
“Sekarang cari penumpang susah, kami harus bersaing dengan ojek dan busway. Saya sudah 20 tahun menjadi supir mikrolet, baru akhir-akhir ini mencari penumpang itu susah.”
“Bapak harus bayar setoran ? Ini saya tambahi, pak.” Kata saya, sambil mengeluarkan uang Rp. 10.000,-. Ia menolak. “Tidak usah, tidak usah, bu.”
Tapi saya berkata : “Pak, saya baru dapat uang dari teman saya. Tuhan gerakkan hati saya, yang Rp. 10.000,- ini untuk bapak. Jadi ini dari Tuhan, terimalah, pak.”
Mendengar ‘ini dari Tuhan’, langsung ia mau menerimanya. Dan ajaib, perilaku menyetirnya tiba=tiba berubah 180 derajat. Tiba-tiba ia tidak mengemudi ugal-ugalan lagi. Bahkan ia dapat berkata “Sabar yaaa….”, pada seorang penumpang yang mau turun.
Dari cerita ini perhatikan, bahwa saya tidak berkotbah, saya juga tidak berkata “Ini supir harus dididik, dikasih pelajaran! Tabrak saja mobilnya! Kempeskan saja bannya!”. Tidak. Saya hanya memberi uang lebih, disertai perkataan yang menyejukkan ‘ini dari Tuhan’, perilakunya langsung berubah. Jadi kita dapat belajar, betapa siraman rohani yang sejuk, dapat merubah perilaku seseorang, daripada tindakan-tindakan yang keras, yang disebut orang ‘mendidik’.
Mungkin sebenarnya perilaku ugal-ugalan para pengemudi angkutan umum itu dapat diredakan dengan sekedar ‘siraman rohani’ yang sejuk seperti : “Tuhan peduli lho. Tuhan mengerti beban hidupmu. Tuhan mau menolong”, dan sebagainya, lebih dari paksaan-paksaan atau hukuman-hukuman.
MEMBERI DAN MEMBERI 3
Saya punya seorang teman, yang saya kenal mungkin mulai tahun 2002. Ibu ini kebahagiaannya adalah memberi dan memberi. Sampai saat ini, tahun 2008, kegemarannya adalah memberi banyak pemberian kepada saya. Apa saja yang dapat diberi, ia ingin memberikannya kepada saya. Apa saja, mungkin uang, selop, pakaian, sekantong permen, membelikan bensin, membayari parkir, apa saja. Saya yakin ia juga banyak mendengar ‘kata orang’ tentang saya, yaitu segala tuduhan yang keji dan mengerikan, toh ia tetap mengikuti kata hatinya untuk memberi dan memberi. Saya yakin, seperti saya, iapun berprinsip : ‘Listen to the voice within, rather than what people say’ (Dengarkan suara dalam hatimu, lebih dari apa kata orang).
Suatu hari ia membelikan bensin untuk mobil saya. Untuk membalas budinya, saya ingin mengantarkannya sampai ke rumahnya. Tetapi saya malah dimarahi.
“Kamu tidak boleh berpikir seperti itu. Saya membelikan bensin karena hati saya tergerak untuk itu. Tetapi saya tidak mengharapkan imbalan apa-apa.” Ibu ini memberi dan memberi, tanpa syarat, dan tak harap kembali.
Mulai saat itu saya tidak lagi berusaha untuk membalas pemberian-pemberiannya, tapi saya hanya berdoa; “Tuhan, berkati ibu ini berlipat ganda, melalui tangan orang lain.” Saya tahu ibu ini tidak kaya, tetapi kebahagiaannya adalah memberi dan memberi. Mengapa begitu ? Karena hatinya melimpah dengan syukur. Keinginan memberi hanya dapat keluar dari hati yang bersyukur. Saya tahu jika saya berusaha untuk membalas pemberian-pemberiannya, itu hanya akan merusak kebahagiaannya. Oleh sebab itu saya lebih baik berdoa, supaya Tuhan membalasnya berlipat ganda, melalui tangan orang lain.
MEMBERI DAN MEMBERI 4
Masih dalam konteks ‘memberi dan memberi’, saya juga mau bicara tentang ‘seminar’… Banyak orang berkata : “Kalau KKR boleh gratis, tapi seminar harus bayar!”. Saya tidak pernah tahu apa pertimbangannya, bagaimana cara berpikirnya, dan apa dasar hukumnya dalam Alkitab, tetapi saya melihat orang Kristen “hobby” begitu.
Tetapi saya juga melihat bahwa beberapa hamba Tuhan tidak mengikuti “peraturan tidak tertulis” itu dan tetap “hobby” memberi seminar gratis. Saya mau saksikan salah satu diantaranya.
Saya mengikuti SHRK (Seminar Hukum Roh Kehidupan) yang undangannya selalu diumumkan melalui milis ini, mungkin sejak tahun 2002. Ini adalah seminar gratis, yang diadakan sebulan sekali, setiap bulan tiga hari. Tahun 2002, seminar diselenggarakan di Menara Era, Senen, Jakarta Pusat.
Sejujurnya selama 3 tahun, yaitu dari tahun 2002 sampai 2004, saya telah membuat panitia ‘tekor’ dengan kehadiran saya. Lho, bagaimana bisa begitu ? Karena selama 3 tahun itu saya tidak bekerja, tidak punya penghasilan, tetapi rajin mengikuti seminar itu. Kadang-kadang saya hanya membawa uang Rp. 1000,-, Rp. 2000,- atau paling banyak Rp. 5000,- saja. Pada saat itu panitia menyediakan ‘kupon parkir’, dan saya adalah pelanggan setia. (Jadi sudah seminarnya gratis, parkirpun dibayari!).
Jadi bayangkan, kolekte saya hanya Rp. 1000,- atau Rp. 2000,-, atau kadang-kadang Rp. 5000,-, tetapi panitia harus membayari parkir saya Rp. 6000,- sampai Rp. 8000,- sekali datang. Apa ini tidak membuat panitia ‘tekor’ ? Jangan berkata saya tidak sedih untuk hal ini. Tetapi saya sedihpun, tetap saja saya tidak bisa berbuat apa-apa. Dan mereka tetap memberi dan memberi, berkat rohani maupun berkat materi kepada saya.
Tetapi apakah itu membuat hambaNya dan seluruh panitianya menjadi miskin ? Tidak. Kalau saya mau saksikan, banyak berkat rohani dan materi yang mereka sudah terima, jadi saya hanya mau mengambil contoh yang signifikan saja. Yaitu bahwa suatu hari hambaNya bersaksi, bahwa Tuhan telah memberi berkat materi kepada mereka senilai Rp. 30 M, cukup untuk membangun sebuah gedung gereja berkapasitas 12.000 kursi. (Holy Stadium).
Saya lega sekali, dan saya sebut berita itu sebagai ‘penghiburan’ dari Tuhan. Lho kok ‘penghiburan’? Karena selama 3 tahun saya sedih dan tertekan, setiap kali saya mengingat bahwa saya telah membuat tekor panitia. Tetapi Tuhan telah perlihatkan kepada saya, bahwa apa yang saya sebut sebagai ‘kerugian panitia karena kehadiran saya’, sudah ditutup oleh Tuhan dengan berkat ribuan kali ganda! Dan pada tanggal 29 Desember 2007, saya dapat pergi ke Semarang, dan melihat Holy Stadium itu dengan mata kepala sendiri. Ada rasa bahagia dan bangga akan Tuhan saya, yang saya rasa tidak dimiliki orang lain, karena saya rasa ‘membuat tekor panitia’ adalah pengalaman saya saja.
Dan saya lebih mengerti maksud Firman Tuhan yang berbunyi : “Berilah, dan kamu akan diberi; suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah keluar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu.” (Luk 6; 38a)
Dan saya mau bersaksi, selama 6 tahun saya mengikuti seminar gratis itu, tidak pernah saya mendengar panitia mengumumkan begini : “Saudara-saudara, seminar bulan depan terpaksa ditiadakan, karena kami kekurangan dana untuk sewa gedung, akomodasi hambaNya dan rombongan dari luar kota , dan sebagainya.”
Jadi mereka memberi dan memberi, tetapi tidak membuat mereka kekurangan. Bagaimana bisa begitu ? Bagaimana semua biaya itu bisa ditutup ? Saya tidak tahu, tanyakan saja pada panitia. Yang saya tahu hanya : “Tuhanku kaya raya dan murah hati.”
Jadi mengapa banyak orang ‘hobby’ menyelenggarakan seminar yang harus bayar ? Seorang teman berkata begini : “Karena ada harga yang harus dibayar untuk orang yang mau mengikuti seminar”. Saya terbelalak, begitukah ? Apakah ini karena ‘kasus’ saya, yaitu dengan banyaknya tuduhan kepada saya, sehingga setiap seminar harus ‘ada harganya’ ?
Lha bagaimana kalau seorang penjahat sungguhan dan berkaliber seperti “seorang Nurdin Moh Top” tiba-tiba memasuki ruang seminar karena Tuhan membuat hatinya rindu akan pengajaran Firman Tuhan ? Apakah mereka akan mendatanginya dan berkata begini : “Pak, kami tahu siapa anda, oleh karena itu khusus untuk bapak, harga satu bangku seminar untuk sekali datang adalah Rp. 10 juta! Supaya bapak tahu, betapa mahalnya harga sebuah pengajaran Firman Tuhan.!”. Begitukah ? Hai, apakah kita sedang kembali ke jaman sebelum Reformasi Martin Luther, dimana para “hamba Tuhan” berkata : “Mau dosamu diampuni ? Bayar dulu dong dengan uang….!”
Kalau masa kini, orang Kristen berkata begini :
“Mau dengar pengajaran Firman Tuhan ? Bayar dulu dong dengan uang.”
“Mau dengar pesan Tuhan terkini ? Bayar dulu dong dengan uang.”
“Oo, mau duduk depan dekat mimbar ? Bayar lebih mahal dong! Makin ke depan, urapannya makin kuat lho! Jadi wajar dong, kalau makin ke depan harganya makin mahal!”
Jika anda seorang event organizer, dan membuat seminar yang harus bayar, lebih baik dengan alasan “karena kami tidak punya iman yang dapat memindahkan gunung”. Ini lebih mudah dimengerti daripada untuk alasan yang saya sebut di atas.
Saya berharap kita semua tidak tiba-tiba berubah menjadi seorang “pelupa”. Kita lupa bahwa kita telah menerima keselamatan dengan gratis, karena anugerahNya, bukan karena kebaikan kita, bukan karena kehebatan kita, juga bukan karena kekayaan kita. Kita lupa, bahwa keberadaan kita saat ini, dengan berkat rohani dan jasmani yang melimpah, itu hanya karena anugerahNya. Kita lupa, bahkan kesanggupan kita untuk taat, juga hanya karena anugerahNya.
Atau adakah kita yang telah disalib, mati dan bangkit pada hari ketiga ? Kitakah yang disesah dengan cambuk orang Romawi dan dimahkotai duri ? Jika itu Jesus, mengapa kita yang ‘pasang harga’? Atau maha tahukah kita sehingga kita dapat menentukan dosa seseorang, lalu menetapkan berapa besar ia harus bayar harga ? Dapatkah kita berkata : “Si A dosanya begini begitu, jadi harus ‘bayar harga’ begini begitu”. Atau “Si B dosanya begini begitu, jadi harus ‘bayar harga’ begini begitu” ?
SEKILAS TENTANG ‘BAYAR HARGA’.
Saya melihat banyak orang salah mengerti tentang ‘bayar harga’, mereka mengacaukannya dengan pengertian orang dunia. Jika seseorang membuat anda menderita, lalu anda berkata begini : “Kamu sudah membuat saya menderita, kamu harus ‘bayar harga’nya, dengan menderita juga!” Ini namanya bukan ‘bayar harga’, ini namanya ‘balas dendam’, tidak mau mengampuni dan membalas kejahatan dengan kejahatan.
Atau seseorang berkata begini : “Eh, si Anu jatuh dalam dosa perzinahan lho.” Lalu anda berkata : “Kalau begitu si Anu harus ‘bayar harga’nya. Kita adukan saja pada istrinya.” Atau “Kita tabrak saja mobilnya…” Atau “Kita kempeskan saja bannya.” Ini juga bukan ‘bayar harga’, ini adalah PENGHAKIMAN. Sudah menghakimi itu dosa, berdasarkan ‘kata orang’ lagi.
Jadi apa itu ‘Bayar Harga’? ‘Bayar Harga adalah suatu perkara yang DITENTUKAN TUHAN (bukan manusia), yang harus dijalani oleh seseorang, oleh karena sebab-sebab :
1. Pelanggaran atau ketidak taatan. Contohnya ketika Daud melakukan pelanggaran dengan menghitung jumlah orang Israel, maka Tuhan menghadapkan 3 perkara yang harus dijalani Daud untuk membayar harga atas pelanggarannya. Jadilah, 70.000 rakyat Israel harus mati kena tulah. Itulah ‘bayar harga’ karena pelanggaran.
2. Tidak karena pelanggaran atau ketidak taatan, tetapi Tuhan ingin membawanya ke level rohani yang lebih tinggi, ke tingkat tertentu di Kerajaan Sorga. Itu juga ada harga yang harus dibayar.. Contohnya adalah Daud. Untuk menjadi seorang raja Israel , Daud harus mem’bayar harga’ dulu dengan menjadi ‘buron’ dari bangsanya sendiri. Daud harus lari sembunyi dari kejaran Saul yang ingin membunuh Daud karena iri hati saja. Tetapi dalam masa pelariannya itulah, Daud mengalami ‘pertumbuhan karakter’, ‘pertumbuhan iman’ dan latihan-latihan ketaatan. Sehingga ketika ia sudah menjadi raja, ia menjadi raja yang dikenan Tuhan. Itulah ‘bayar harga’karena naik tingkat.
3. Bayar harga untuk sebuah pelayanan, atau untuk menyelamatkan jiwa seseorang. Contohnya adalah ketika Ester mau menyelamatkan seluruh bangsa Israel dari pembunuhan missal yang dirancang Haman, Ester berpuasa 3 hari 3 malam hanya untuk menghadap raja. Ester membayar harga keselamatan bangsanya dengan membayar harga, yaitu berpuasa 3 hari 3 malam.
Contoh masa kini adalah Rebecca Brown yang ditugaskan Tuhan untuk melepaskan Elaine dari gereja setan. Rebecca Brown harus ‘membayar harga’, dengan bertempur melawan roh-roh jahat, bahkan roh-roh manusia yang melakukan ‘astral project’ (meraga sukma) dan memasuki jasmani Elaine untuk membunuh mereka berdua. Itulah ‘bayar harga’ untuk menyelamatkan jiwa seseorang. (Baca : ‘Lepas Dari Cengkraman Setan’ oleh Rebecca Brown).
Kembali kepada soal ‘Memberi dan Memberi’, saya bersyukur sebab walaupun saya harus menghadapi orang-orang pintar-pintar dan hebat-hebat dengan karakter sempurna sehingga merasa layak untuk ‘mendidik’ orang lain (apalagi berdasarkan ‘data-data dan informasi-informasi’ yang dianggap sebagai ‘kebenaran mutlak yang tidak dapat diganggu gugat), setidaknya Tuhan masih mempertemukan saya dengan orang-orang sederhana yang kebahagiaannya adalah memberi dan memberi, dan tak harap kembali.
Hesti. 15 September 2008.
nice post..
memberi itu anugrah, karena ngga semua orang mempunya seseorang buat diajak berbagi yah 🙂
memang benar, memberi dan memberi tanpa meminta balasan adalah perbuatan yg terpuji, dan saya sendiri bisa merasakan berkah atas perbuatan memberi, sewaktu kita butuh selalu di cukupkan oleh tuhan, dan selalu tepat pada waktunya. dan mulai sekarang pun saya merasa dengan memberi kita tidak akan jatuh miskin, tetapi kita akan ditambahkan berkah oleh tuhan, dan cara tuhan sangat ajaib. amien.
Saya ngerasain sendiri kok… sebanyak apapun saya memberi, sampai saat ini saya gak pernah kekurangan… Thanks to God
Hidup kita diberkati untuk menjadi berkat, orang yang tidak mau menjadi saluran berkat dengan berbagai alasan seperti di atas adalah orang yang tidak ingin hidupnya diberkati.
Tulisan ini bagus dan menyentuh. Thank’s Dave…buat welcoming home-nya juga.
waawaww..
what a
badnice post^^
Tulisan yang menyentuh dan memberi semangat untuk terus memberi (berbagi)
salam kenal,
Riris
orang yang suka memberi/murah hati = tidak egois.
sekedar share, saya punya temam sekolah yg ibunya sgt sederhana pendidikannya namun sifat murah hatinya luar biasa. Beliau selalu melayani tamu anaknya spt menjamu malaikat shg kami senang sekali bermain sekedar bikin tgs atau menggambar yg bth waktu bermalam-malam. Bahkan pernah memaksakan diri panen pisang di kebun untuk digoreng krn ada tamu anaknya. Skrg karmanya,menurun ke anaknya – dia selelu beruntung cari kerja seolah kebetulan & keluar krj lagi lsg seperti kebetulan dapet lagi lbh baik.
Ibu tsb tdk pernah mengharap imbalan & tdk peduli ajaran Tuhan mengenai khotbah di atas bukit namun beliau “praktisi” pemberi & berbahagia…
Share yang menyentuh,
berbagi membuat kita semakin kuat dalam menjalani hidup ini dan semakin mengerti pengajaran Tuhan Yesus akan Hukum Yang terutama. sehingga kita tahu bahwa Tuhan Yesus selalu menyertai kita dalam kondisi apapun, dan ingin menaburkan benih kasih melalui kita terhadap siapapun tanpa imbalan apapun, karena Tuhan telah lebih dahulu mengasihi kita sehingga kita melimpah kasih untuk orang lain. Gbu
o man i love it, memberi memang kagak ada matinya *great post*
tapi kenapa ya..terkadang orang lain salah mengartikan niat kita untuk memberi??? Memang kita dapat saja memberi tanpa mengasihi, tapi kita tidak mungkin mengasihi tanpa memberi… =)